Posts from the ‘bio’ Category

Keturunan Sultan Demak Jadi Pahlawan Nasional Indonesia

Keturunan Sultan Demak Jadi Pahlawan Nasional Indonesia

Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada empat pejuang kemerdekaan Indonesia. Keempatnya adalah Letjen TNI (Purn) Djamin Ginting dari Sumatera Utara, Sukarni Kartodiwerjo dan KH Abdul Wahab Hasbullah dari Jawa Timur, serta Mohamad Mangoendiprojo dari Jawa Tengah.

Salah seorang dari keempat pahlawan nasional yang baru itu, Mohamad Mangoendiprojo, adalah salah seorang keturunan Sultan Demak dan Prabu Brawidjaja. Ia berperan besar dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Darah perlawanan terhadap pemberintah kolonial Belanda diwarisinya dari para leluhur. Kakek buyut Mohamad, Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha, juga dikenal sebagai pemimpin perlawanan pada kurun 1825-1830.

Bersama  Pangeran Diponegoro, Kyai Ngali Muntoha memperluas perlawanan ke daerah Kertosono, Ngawi dan Banyuwangi.

Adapun Mohammad yang mengikuti jejak buyutnya, setelah lulus dari OSVIA pada tahun 1927, menjadi Pamong Pradja. Ia sempat menduduki posisi Wakil Kepala Jaksa dan kemudian Asisten Wedana di Jombang, Jawa Timur.

Rasa kebangsaan dan keinginan membela negara, membuat Mohammad pada tahun 1944 meninggalkan posisi bergengsi dari Belanda itu. Ia bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Ketika itu usianya 38 tahun. Setelah lulus pendidikan, ia kemudian ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon di Sidoardjo.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia Kedua, Mohamad bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada tanggal 25 Oktober 1945 pemerintahan sipil Belanda atau NICA mendarat di Surabaya. Mohamad dan sejumlah temannya, seperti Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab, Drg Moestopo, memimpin perlawanan menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Di saat bersamaan, Mohamad diangkat sebagai pimpinan TKR di Jawa Timur. Surat pengangkatannya sebagai komandan TKR Jawa Tengah ditandatangani Jenderal Oerip Soemomihardjo.

Mohamad juga mendapat tugas khusus untuk menjalin komunikasi dengan pihak Sekutu pada saat gencatan senjata tanggal 29 Oktober 1945.

Sore hari, Mohamad dan Jenderal Mallaby memeriksa pasukan  yang sedang gencatan senjata di seluruh Surabaya. Rombongan ini berhenti di Jembatan merah depan Gedung Internatio. Pemuda-pemuda Indonesia tampak sedang mengepung pasukan Gurkha yang bertahan di dalam gedung.

Mohamad masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Mohamad kemudian disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mobil Mallaby meledak dan terbakar. Mallaby tewas di dalam mobil.

Pihak Inggris tentu marah dan meminta seluruh tentara dan pemuda Indonesia meletakkan senjata.

Mohamad Mangoendiprojo tentu menolak permintaan ini hingga pecahlan pertempuran 10 November 1945.

Pertempuran itu berlangsung selama 22 hari. Sebanyak  6.315 anggota TKR tewas. Mohamad Mangoendiprojo walau terkena pecahan mortir di pelipisnya, tetap terus memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.

Setelah pertempuran Surabaya, Mohamad Mangoendiprojo dipromosikan menjadi Jendral Mayor dan Kepala Staff TNI, yang surat keputusannya ditanda-tangani oleh Presiden Soekarno.

Setelah karier militernya berakhir, Mohammad Mangoendiprojo menerima tugas menjadi Bupati Ponorogo untuk mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso. Tugas selanjutnya adalah sebagai Residen atau Gubernur pertama di Lampung.

Mohammad Mangoendiprojo meninggal dunia pada 13 Desember 1988,  dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Bandar Lampung. Mohamad Mangoendiprojo adalah ayah dari Letjen Himawan Soetanto, Mertua dari mantan Menko Polkam Soesilo Soedarman, serta Eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo “Kabinet Kerja” Jokowi-JK  (2014-2019) dan Eyang dari anggota DPR RI Aroem Hadiati (2014-2019).

SILSILAH BUPATI SUKAPURA / TASIKMALAYA

Sejarah dan Silsilah Bupati Sukapura / Tasikmalaya :

Sejarah Sukapura

Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat, pada masa itu karena belum ada sekolah seperti sekarang maka orang yang ingin mendapat pengetahuan pada umumnya melakukan pengembaraan dengan tujuan untuk menjadi pimpinan yang bijaksana, pada akhirnya Pangeran Kusuma Diningrat sampai di tanah Sunda (Priangan) di kampung Cibadak / Badakpaeh Kecamatan Singaparna sekarang.

Setelah menetap beberapa lama mempunyai istri yang bernama RA Sudarsah puteri Rangga Gempol I Kusumahdinata III (Raden Aria Suryadiwangsa II), Bupati Sumedang pertama putra tiri Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 putera dimana putera yang terakhir bernama Sareupeun Cibuniagung.

Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung, puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara).

Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :

1). Raden Wirawangsa;

2). Raden Astawangsa;

3). Raden Pranawangsa;

4). Raden Narahita;

5. Raden Bagus Chalipah

Kemudian  Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar : Raden Tumenggung Wiradadaha,  gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha Yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa Bupati Sukapura pertama (sekarang kota Tasikmalaya) karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I.

Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton.

Dari sinilah mulainya Bupati Sukapura yang pertama.

Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.

Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat.

Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :

Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang, Mandala dan Kelapa Genep, Cipinaha dan Lingga Sari, Cigugur, Parakan Tiga (Pamengpeuk) dan Maroko, Parung, Karang, Bojongeureun,

Suci, Panembong (Garut), Cisalak, Nagara, dan Cidamar

Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah : Saunggantang, Taraju dan Malangbong

Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya.

Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.

PIAGAM PENGANGKATAN

BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG

DARI SULTAN AGUNG

 

Penget srat piagem *)

 

Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang

prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha

Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang,

kang sami prasatja maring ingsoen.

Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka

wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan

pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan

rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang,

kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken

déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon,

pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija,

papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan

toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe.

Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip,

kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.

Terjemahan :

Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa

yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha

(untuk) Sukapura, Tumenggung Wiraangunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk)

Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami.

Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda,

semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja

memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung,

pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan

abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban

terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan

Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya,

empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan,

Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu.

Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi

raja, jurutulis.

*) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”,

 

Makam Kanjeng Dalem Wirawangsa / Tumenggung Wiradadaha (Dalem Wiradadaha)                                                                                                     dan Tumenggung Wiradadaha IV (Dalem Sawidak / Dalem Baganjing

Makam Kanjeng Dalem Wirawangsa / Tumenggung Wiradadaha I (Dalem Wiradadaha/ Dalem Baganjing) dan Tumenggung Wiradadaha III (Dalem Sawidak )

 

 

Bupati Sukapura Pertama : 1641-1674                                                       

Rd.Tumenggung Wiradegdaha (Wiradadaha) 

 

Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan.

Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.

Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton.

Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.

Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara.

Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung.

Maka, Rakyat dan Pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing2 sehingga negara Sukapura pada saat itu peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.

Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat.

Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya.

Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kg. Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka.

Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”.

Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :

1.Rd. Wangsadipura

2.Rd. Anggawangsa

3.Rd. Kartijasa

4.Nyi Rd. Wanadapa

5.Rd. Djajamanggala

6.Nyi Rd. Pelang

7.Rd. Anggadipa

8.Nyi Rd. Parnati

9.Rd. Wangsadikusumah

10.Nyi Rd. Adjeng

11.Nyi Rd. Ajoe

12.Rd. Poespawidjaja

13.Rd. Pranadjaja

14.Rd. Darmamanggala

15.Rd. Ardimanggala

16.Rd. Puspamanggala

17.Rd. Tjandradipa

18.Rd. Kartadipa

19.Nyi Rd. Doekoeh

20.Rd. Wangsataruna

21.Rd. Digajasa

22.Nyi Rd. Djampang

23.Rd. Wirandana

24.Nyi Rd. Purba

25.Rd. Gentoer

26.Nyi Rd. Sampan

27.Nyi Rd. Katempel

28.Nyi Rd. Widuri

Penggantinya adalah putra nomer 3 bernama Rd. Jayamanggala.

 

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – II  Tahun 1674 

Rd. Jayamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha II

 

Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat.

Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja.

Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.

Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :

1.Rd. Indramanggala

2.Nyi Rd. Kusumahnagara

3.Rd. Widjanggana

4.Nyi Rd. Legan

5.Nyi Rd. Gandapura

6.Nyi Rd. Djanglangas

7.Nyi Rd. Apiah

8.Rd. Madjadikara

namun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – III  Tahun 1674 – 1723

Rd. Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III

 

Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai.

Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.

Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini.

Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensyiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tentram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III.

Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda;

1.  Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.

2.  R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.

3.   R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.

4.   R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.

 

Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta   ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :

1.Rd. Joedanagara

2.Rd. Soebang

3.Rd. Soebamanggala

4.Rd. Wiradimanggala

5.Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel

6.Nyi Rd. Wiratsari

7.Rd. Mandoera

8.Rd. Abdoel Moh. Arip

9.Nyi Rd. Radji

10.Rd. Wiranagara

11.Rd. Soeriadinata

12.Rd. Tirtapradja

13.Rd. Indramanggala

14.Rd. Mertamanggala

15.Rd. Dipanagara

16.Nyi Rd. Djahah

17.Rd. Tjandrakoesoemah

18.Rd. Singadiprana

18.Rd. Indrataroena

20.Nyi Rd. Soemanimbang

21.Nyi Rd. Impoen

22.Rd. Radjamanggala

23.Nyi Rd. Idjah

24.Rd. Djagasatroe

25.Rd. Rarap

26.Rd. Singadimanggala

27.Rd. MS. Bagoes

28.Rd. Daroes (Daroe)

29.Nyi Rd. Poespa

30.Nyi Rd. Doeji ( Dewi)

31.Nyi Rd. Winadjeng Halimah

32.Rd. Bima

33.Nyi Rd. Dita

34.Rd. Soemadimanggala

35.Rd. Djiwamanggala

36.Rd. Karadinata

37.Nyi Rd. Patradanta

38.Rd. Najapoespa

39.Rd. Lingga(Legan)

40.Nyi Rd. Karimah

41.Nyi Rd. Ardi

42.Rd. Bodong

43.Rd. Arsabaja

44.Rd. Wangsamanggala

45.Rd. Soetra

46.Rd. Indradinata

47.Rd. Tjandramanggala

48.Rd. Ardimanggala

49.Rd. Betok

50.Rd. Tjandradinata

51.Nyi Rd. Ika

52.Rd. Kartadipa

53.Rd. Soemanagara

54.Rd. Bagoes II ( Saloengan )

55.Nyi Rd. Koesoemakaraton

56.Rd. Soerajoeda

57.Rd. Indra Widjaja

58.Rd. Djajamanggala

59.Rd. Kertimanggala

60.Rd. Kartamanggala

61.Rd. Natawatjana

62.Rd. Gandapradja

Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)

Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala.

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – IV   Tahun 1723-1745

Rd. Soebamanggala/ Rd. Tumenggung Wiradadaha IV

 

Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi

Rd. Tumenggung Wiradadaha IV.

Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.

Berkuasanya beliau tidak lama karena keburu wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”.

Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau.

Keempat patih yang tersebut diatas masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, Patih II, karna dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.

Raden Anggadipa/Dalem Abdoel  berputra 14 orang yaitu :

1.Rd. Demang Setjapati

2.Rd. Anggadipa

3.Rd. Anggadiwiredja

4.Rd. Sidjah

5.Rd. Anggapradja

6.Nyi Rd. Djandipoera

7.Rd. Djajawiguna

8.Nyi Rd. Soemadikara

9.Nyi Rd./ Katjinagara

10.Nyi Rd. Gimbar

11.Nyi Rd. Bandoe

12.Nyi Rd. Soerianagara

13.Rd. Soeradiredja

14.Rd. Wiradrapa

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – V  Tahun 1745-1747

Rd. Setjapati/ Kg. Tumenggung Wiradadaha V 

 

Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram.

Rd. Demang Setjapati berputra 10 orang yaitu :

1.Nyi Rd. Gandalarang

2.Nyi Rd. Winari

3.Rd. Djajanggadiredja

4.Nyi Rd. Nimbang

5.Rd. Indranagara

6.Nyi Rd. Djaleha

7.Rd. Wiradiredja

8.Nyi Rd. Landjang

9.Rd. Satjadikusumah

10.Rd. Panimba

Beliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.

 

 

           BUPATI SUKAPURA Ke – VI Tahun 1747-1765

Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.

 

Nama Rd. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.

Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC).

Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.

Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu.

Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).

Rd. Djajanggadiredja berputra 3 orang yaitu :

1). Rd. Djajamanggala;

2). Nyi Rd. Kartiwinagara;

3). Nyi Rd. Kartakusumah.

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – VII Tahun 1765-1807

R.Djajamanggala ke II / Kg. Dalem Wiradadaha VII 

 

Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun.

Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon.

Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena itu beliau diberi gelar Adipati.

Pada saat menerima gelar tersebut, Kg. Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja.

Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakankan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37 yaitu :

1.Nyi Rd. Panggoengnagara

2.Nyi Rd. Ganibah

3.Nyi Rd. Somakartawan

4.Nyi Rd. Gandanagara

5.Nyi Rd. Poerwakoesoemah

6.Rd. Hidjad

7.Rd. Djajanggadiredja

8.Rd. Ardikoesoemah

9.Rd. Anggadipa

10.Nyi Rd. Ondan

11.Rd. Bradjanagara

12.Rd. Wiranagara

13.Nyi Rd. Siti Salmah

14.Nyi Rd. Rijanagara

15.Rd. Wangsajoeda

16.Nyi Rd. Arsabaja

17.Rd. Soerajoeda

18.Nyi Rd. Basi

19.Nyi. Rd. Tedja

20.Nyi Rd. Ratnanimbang

21.Rd. Wiramanggala

22.Rd. Parnawangsa

23.Rd. Tanoewangsa/Dalem Danoeningrat

24.Rd. Dg. Nawatadiredja

25.Nyi Rd. Wati Angsanagara

26.Nyi Rd. Ratnainten

27.Rd. Gandakoesoemah

28.Rd. Raksadiredja

29.Rd. Tanoeredja

30.Rd. Bradjadiguna

31.Rd. Diparedja

32.Nyi Rd. Habijah

33.Nyi Rd. Nimbang

34.Rd. Soemajuda

35.Nyi Rd. Saridjem

36.Rd. Soerjadiredja

37.Rd. Moh Djapar

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – VIII  Tahun 1807-1811 dan 1814-1837

Rd. Anggadipa / Kg. Adipati Wiradadaha VIII

 

Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, serta pada tahun yang sama, kabupaten Sukapura dipindahkan dari Leuwi Loa ke daerah Desa Sukapura di wilayah Kecamatan Sukaraja sekarang.

Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati.

Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan.

Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami tarum (pohon nila).

Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan.

Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija.

Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).

Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811).

Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi  khususnya dan eksploitasi ekonomi pada umumnya.

Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang.

Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana.

Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun tarum tetap dilaksanakan.

Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda.

Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.

Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi.

Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun.

Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong.

Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.

Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh.

Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya.

Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker.

Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.

Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya.

Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu :

1.      Pasir Panjang,

2.      Banjar,

3.      Kawasen,

4.      Kali Peucang

5.      Cikembulan

6.      Parigi

 

Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa.

Seterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut.

Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun.

Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.

Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832.

Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan Keresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing.

Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura – sesuai daerah yang langsung diperintahnya – yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun.

Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesaian pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya.

Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun.

Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Rd. Anggadipa (Kg. Adipati Wiradadaha VIII) pada tahun 1837 wafat, setelah meninggal disebut Dalem Sepuh.

Beliau menjadi bupati selama 30 tahun .Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya, meninggalkan putra-putri sebanyak 14 orang yaitu :

1.Rd. Ajoe Djajanggadiredja

2.Rd. Anggadipa

3.Rd. Mandoeraredja

4.Nyi Rd. Siti Djenab/Zaenab

5.Nyi Rd. Mantri Gandawiredja

6.Nyi Rd. Armisah

7.Rd. Rg. Djajamanggala

8.Nyi Rd. Limdasari

9.Rd. Tanoekoesoemah

10.Nyi Rd. Poerwa Apipah

11.Rd. Wangsadiredja

12.Nyi Rd. Siti Mamtri

13.Rd. Soeranegara

14.Nyi Rd. Koesoemah

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – IX  Tahun 1837-1844

Rd. Tumenggung Danoeningrat

 

Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat putra Kg. Adipati Wiratanoebaja ke 12 menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844 wafat,

jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya. Beliau menikah dengan Nyi Rd. Tajoem putri Rd. Soemabrata dari Panjalu dan mempunyai putra-putri 13 orang yaitu :

1.R. Rangga Wiradimanggala,

2.Rd. Dg. Pranawangsa

3.Rd. Wiradiredja

4.Nyi Rd. Sariningsih

5.Rd. Rangga  Tanoewangsa

6.Nyi Rd. Arsanagara

7.Nyi Rd. Jogjaningrum

8.Nyi Rd. Bradjadiguna

9.Nyi Rd. Ratnanagara

10.Nyi Rd. Moenaningroem

11.Nyi Rd. Radjakoesoemah

12.Rd. Soebiakoesoemah

13.Rd. Danoekoesoemah

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – X Tahun 1844-1855

Rd. Rangga Wiradimanggala / Kg. Rd. Tumenggung Wiratanoebaja.

 

Yang menjabat bupati kemudian adalah putra sulungnya yang bernama R. Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti menjadi Kg. R. Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg. Dalem Parakanmuntjang ke III.

Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya, dan tidak mempunyai putra-putri.

Setelah wafat,  Kg. Dalem sering disebut “Dalem Soemeren”.

Jabatan kemudian  diserahkan ke adiknya yang bernama R. Tanoewangsa.

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – XI Tahun 1855-1875

Rd. Rangga Tanoewangsa / Rd. Wiratanoebaja / Rd. Adipati Wiraadegdaha.

 

Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R. Rangga Tanoewangsa dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872 mendapat gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha.

Pada masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang dipimpin oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral Hindia Belanda; 1884-1888).

Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e Kamer, pada bulan Juli 1871, peraturan pajak tanah di Priangan diberlakukan.

Jasa Kg. Bupati kepada negara serta isinya sangatlah besar dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi kesejahteraan negara tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama dan juga besar jasanya dalam memajukan pembangunan.

Pada tahun 1875 beliau mendapat musibah yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan hormat.

Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di tempat kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor dan diberi pensiun f. 300 setiap bulannya.

Itu sebabnya Kg. Dalem sering disebut “Dalem Bogor”.

Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke Manonjaya, hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.

Beliau mempunyai putra-putri sebanyak  34 orang yaitu :

1.Rd. Danoeningrat

2.Nyi Rd. Mintarsih

3.Nyi Rd. Patimah

4.Rd. Adjrak

5.Nyi Rd. Saribanon

6.Nyi Rd. Soehaerah

7.Rd. Waktoero

8.Nyi Rd. Oerpinah

9.Rd. Anhar

10.Nyi Rd. Pandji

11.Nyi Rd. Parinaningrat

12.Rd. Soedjana

13.Rd. Alibasah

14.Nyi Rd. Soekaenah

15.Rd. Kosasih

16.Nyi Rd. Soekaesih

17.Rd. Timoer

18.Nyi Rd. Soehaeni

19.Rd. Rangga Wiratanoewangsa

20.Rd. Soemanagara

21.Rd. Asikin

22.Rd. Widjanggana

23.Rd. Tasik

24.Rd. Soemitra

25.Rd. Badar

26.Rd. Bradjanagara

27.Nyi Rd. Radja

28.Nyi Rd. Resna

29.Nyi Rd. Oerpijah

30.Rd. Herdis

31.Nyi Rd. Timoer

32.Nyi Rd. Bintang

33.Nyi Rd. Mintarsah

34.Rd. Panris

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – XII  Tahun 1875-1901

Rd. Danoekoesoemah / Rd. Adipati Wirahadiningrat.

 

Setelah berhentinya Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha ditahun 1875, jabatannya diganti oleh adiknya yang bernama R. Demang Danoekoesoemah, patih Manonjaya dan setelah menjabat bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Wirahadiningrat.

Beliau adalah Bupati terakhir di kabupaten Manonjaya, beliau juga termasuk Bupati yang rajin, sabar, adil, bijaksana, termasyur sebagai Bupati yang paling baik.

Jasa beliau oleh pemerintah ditahun 1893 diberi gelar Adipati, tahun 1898 mendapat “Bintang Payung Kuning” dan ditahun 1900 dianugrahkan bintang “Oranje Nassau”. Itulah sebabnya sering disebut “Dalem Bintang”.

Pada tahun itu juga beliau mendapat surat perintah resmi untuk memindahkan kabupaten ke Tasikmalaya, namun sepertinya dari pesan leluhur ada peribahasa “Galunggung Ngadek Tumenggung”, beliau tidak ada maksud menduduki kabupaten baru, sebab sudah melewati gelar Tumenggung, maka secara  mendadak setelah menerima surat perintah itu beliau jatuh sakit sampai wafat.

Rd. Danoekoesoemah/Rd. Adipati Wirahadiningrat/Dalem Bintang, mempunyai putra-putri sebanyak  19 orang yaitu :

1.Rd. Dg. Soekmamidjaja

2.Nyi Rd. Amiarsih

3.Nyi Rd. Lembana

4.Nyi Rd. Oeminah

5.Nyi Rd. Lasmini

6.Nyi Rd. Basoewarna

7.Rd. Tumenggung Wiradipoetra

8.Rd. Tumenggung Aria Soenarya

9.Nyi Rd. Tresnasih

10.Nyi Rd. Atimah

11.Nyi Rd. Roekansih

12.Nyi Rd. Amiarsih

13.Nyi Rd. Toersini

14.Nyi Rd. Dinawasih

15.Nyi Rd. Soengkawati

16.Nyi Rd. Moetiarsih

17.Rd. Tranggana

18.Nyi Rd. Dinarsih

19.Nyi Rd. Mimarsih

 

 

BUPATI SUKAPURA Ke – XIII  Tahun 1901-1908

Rd. Rangga Wiratanoewangsa / Rd. Tumenggung Aria Prawira Adiningrat

 

Dengan berhentinya Kg. Adipati Wirahadiningrat pada tahun 1901, kedudukannya digantikan oleh putra saudaranya yaitu putra Kg. Dalem Bogor yang bernama R. Rangga Wiratanoewangsa, Patih Manonjaya. Setelah memegang jabatan Bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Prawira Adiningrat.

Sebagai Bupati Sukapura XIII dan merupakan bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1901, ibukota kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya, pemindahan ibukota ini karena pertimbangan ekonomi bagi pemerintahan Hindia Belanda.

Beliau menjabat bupati hanya selama 7 tahun dan tidak lama sejak mendapat gelar “Aria”, ditahun 1908 beliau wafat, ketika sedang berobat di Cianjur. Itu sebabnya mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Aria”.

Beliau mempunyai putra-putri sebanyak  17 orang yaitu :

1.Nyi Rd. Dewi

2.Rd. Ponpon Prawiraadiningrat

3.Nyi Rd. Retna

4.Rd. Prawiraadiningrat (Aom Dikdik)

5.Rd. Adipati Wiratanoeningrat

6.Rd. Soele Prawiraadiningrat

7.Nyi Rd. Ajoe Radjamirah

8.Rd. Soekiman

9.Rd. Kandjoen

10.Nyi Rd. Marsijah

11.Rd. Rg.Prawiraadiningrat (Aom Rio)

12.Nyi Rd. Siti Patimah

13.Rd. Kd. Wiratanoewangsa

14.Rd. Daroessalam

15.Rd. Hasan Affandi

16.Rd. Awam

17.Rd. Hoesen Affandi

 

 

BUPATI SUKAPURA/TASIKMALAYA Ke- XIV Tahun 1908 – 1937

Rd. Adipati Wiratanoeningrat ( Aom Soleh )

 

Setelah wafatnya Kg. Aria, yang menjabat sebagai Bupati Sukapura pada tanggal 23 Agustus 1908, adalah putra sulungnya yang bernama R.A. Wiratanoeningrat.

Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat pada saat sebelum menjadi Bupati Sukapura, menjabat Sebagai Wedana wilayah Ciheulang.

Pada tahun 1901 kabupaten Sukapura mengalami perubahan besar, yaitu wilayah Mangunreja serta Tasikmalaya sebagian ditiadakan.

Dari wilayah Mangunreja yang dimasukkan ke Sukapura hanya diwilayah Mangunreja, Dedetaraju, Sukaraja, Karang dan Parung. Sisanya yaitu wilayah Cikajang, Batuwangi,  Kandangwesi, Nagara digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut).

Dari wilayah Tasikmalaya yang masuk ke Sukapura hanyalah wilayah Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang dan Singaparna. Sedangkan wilayah Malangbong dibagikan ke dua kabupaten, yaitu sebagian ke kabupaten Limbangan (Garut) dan sebagian ke kabupaten Sumedang.

Pada tahun 1910 daerah dibawah kabupaten ini tinggal 14 distrik.

Pada tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti Menjadi Tasikmalaya hingga kini. Daerah bawahannya tinggal 10 wilayah. Atas putusan Bestuurservorming pada tahun 1925, Tasikmalaya menjadi ibukota Keresidenan Priangan Timur, tetapi pada tahun 1931 Keresidenan itu mengalami perubahan lagi.

Dengan kejadian tersebut sering timbul pertanyaan apakah itu pertanda yang menyebabkan “Sukapura Ngadaun Ngora”.

Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila mengingat kepada cerita para sepuh dahulu yang menyebutkan;

Bila Rawa Lakbok dengan hutan belantaranya sudah menjadi sawah, negara akan pindah ke Banjar.

Yang merubah Rawa Lakbok dan hutan belantaranya menjadi persawahan yang amat luas adalah Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat. Atas jasa beliau rawa yang luasnya kurang lebih 30.000 ha, hutan yang begitu lebatnya sekarang telah menjadi persawahan yang begitu suburnya.

Meskipun sekarang ditempat bekas Rawa Lakbok dan Hutan belantaranya itu belum ada batu marmer yang ditulis dengan huruf tinta emas, yang bertuliskan nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, namun akan selalu teringat oleh rakyat yang mendapatkan penghasilan dari sawah yang sebelumnya adalah rawa, itu tidak akan hilang untuk selama ratusan tahun.

Anak cucu rakyat yang mendapatkan kesejahteraan dari jasa Kg. Bupati akan mengetahui dari cerita nenek dan kakeknya bahwa yang membuka Rawa Lakbok serta hutan belantaranya bernama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, Bupati keturunan leluhur Sukapura, dan penuturan cerita itu terus disampaikan secara turun-temurun.

Selain karena tersohor membuka Rawa Lakbok, sebenarnya masih banyak lagi jasa Kg. Bupati kepada rakyatnya, yaitu membuka persawahan, perkebunan yang ada di Banjar, Kawasen, Padaherang, Pamarican, atau ringkasnya cerita bahwa tempat-tempat yang tadinya masih rawan serta hutan belantara sekarang atas jasa Kg. Bupati yang tidak pernah mengingat kepada kesusah-payahannya, merubah semua itu menjadi persawahan hijau dan perkebunan palawija yang luas dan bermanfaat pada kehidupan rakyatnya di wilayah bawahan beliau.

Tidak hanya sampai disitu perhatian beliau kepada rakyatnya, kesemua itu juga dijaga oleh beliau dari bahaya yang akan merusak pertanian, yaitu membasmi segala binatang perusak.

Meneliti kehidupan rakyatnya bukan hanya dengan cara pertanian, tetapi juga dengan jalan memajukan bermacam koperasi dagang dari batik, tenun, anyaman dan peternakan. Malah dari usaha memajukan peternakan kuda dan sapi, beliau mendirikan perkumpulan yang dinamai “Sangiang Kalang” dan “Lembu Andini”.

Untuk menolong segala keperluan yang membutuhkan modal, beliau membentuk suatu perkumpulan yang tidak asing lagi bagi semua orang, yaitu “Pakoempoelan Doeit Hadiah” (PDH), perkumpulan ini pada saat buku ini ditulis telah mencapai f 70.000 lebih.

Dengan pengumpulan dana dari perkumpulan ini, bukan hanya digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan modal untuk berdagang dan bertani saja, namun juga digunakan untuk menolong orang yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah menengah dan sekolah atas.

Diantaranya ada yang telah diberikan bantuan untuk yang sedang bersekolah di Geneescundige Hooge School di Betawi dan di Militaire Academi di Breda.

Meningkatkan pendidikan kerakyatanya itu tidak saja kepada pendidikan duniawi, namun juga pada keagamaan. Bukan hanya puluhan, namun ratusan madrasah yang pernah didirikan oleh kiai-kiai yang dipelopori oleh Kg. Bupati.

Untuk menyatukan para kiai agar selalu sejalan dan setujuan, oleh beliau diikat dalam suatu perkumpulan yang diberi nama “Idharu Biatil Muluki Wal Umaro”, yang artinya tunduk pada pimpinan, patuh pada pemerintah serta jajarannya.

Anggota dari perkumpulan tersebut ada 1.350 kiai, belum termasuk lagi yang bukan golongan kiai.

Untuk keperluan rakyat agar memudahkan dan melancarkan hubungan mata pencahariannya, Kg. Bupati tidak berdiam diri, secara seksama membangun beberapa jembatan-jembatan. Diantara jembatan yang termasyur;

Jembatan Gantung Kawat jalan ke Ciwarak

Jembatan Gantung Kawat jalan ke Linggasari

Jembatan Gantung Kawat jalan ke Talegong

Jembatan Gantung Kawat jalan ke Leuwi Budah-Tanjung

Jembatan Gantung Kawat jalan ke Cigugur

Jembatan bambu beralas besi di Mangunjaya (sangat disayangkan jembatan ini tidak sampai selesai karena diterjang banjir kali Ciseel).

Selain itu, beliau pernah bermaksud pula untuk membangun suatu rumah fakir miskin Islam yang dibiayai dari sebagian pendapatan zakat fitrah untuk fakir miskin, yang biasanya dikumpulkan dari orang-orang setahun sekali, namun karena terpikirkan oleh beliau, aturan ini tidak bermanfaat bagi fakir miskin, sebab sumbangan dari perorangan itu tidak akan mencukupi.

Atas jasa Kg. Bupati yang begitu besarnya, pemerintah tidak ragu, berdasarkan surat P.K.T. Goepernoer Djendral tanggal 21 Agustus 1920, No. 1, diberi gelar “Adipati”, ditambah lagi surat P.K.T. Besar tanggal 24 Agustus 1922, No. 39, beliau menerima bintang dalam “Officer de Order van Orangje Nassau” dan menurut surat Goepernoemen tanggal 21 Agustus 1926, No, 13, diberikan lagi “Gele Songsong”.

Kebijaksanaan Kg. Bupati didalam keunggulannya mengolah negara, berdasarkan surat-surat seperti dibawah ini :

23 Agustus 1908-23 Agustus 1933

 

Pada masa inilah selama 25 tahun Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat menjabat sebagai Bupati.

Melihat pada kebijaksanaan beliau sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh berbagai kehormatan yang tersebut diatas tadi, tepat sekali seumpama nama beliau dicatat didalam arsip Pemerintahan Hindia Belanda, diperuntukan bagi putra-putranya yang beliau sayangi.

Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat dilahirkan pada tanggal 19 Febuari 1878, di Nanggrang, wilayah Taraju. Ibunya bernama R. Ajoe Ratna Puri. Putri sulung dari Kg. Dalem Tumenggung Aria Prawira Adiningrat (Dalem Aria), bupati ke XIII, cucu Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha (Dalem Bogor), buyut Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat bupati IX.

Nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ialah Aom Saleh. Sepeninggal Kg. Ibu, pada usia 8 bulan, beliau diasuh oleh eyang sepupu, Kg. Dalem Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang) bupati ke XIII, sewaktu usianya 8 tahun pada saat ayahnya Kg. Dalem Aria menjadi wedana di Jampang Wetan, disekolahkan disekolah Belanda di Sukabumi selama 2 tahun, kemudian dipindahkan kesekolah Belanda di Bogor.

Setelah 2 tahun lamanya belajar disekolah itu, saat umur 12 tahun beliau lalu masuk kesekolah menak (Hoofden-School) di Bandung sampai tahun 1896.

Menurut surat residen Priangan Schappen tanggal 5 April 1897, No. 2932/8, beliau ditugaskan sebagai Joeroe Serat Controluer Bandung Utara, dan kurang lebih 3 tahun, juga berdasarkan surat Kg. Resident yang tersebut diatas tertanggal 5 Oktober 1901, No. 12937/8, menerima pengangkatan menjadi asisten wedana di Andir, wilayah Ujung Berung Barat, daerah Bandung.

Setelah kurang lebih 7 tahun memegang jabatan tersebut diatas, berdasarkan surat Goepernemen tertanggal 12 Febuari 1908, No. 28, beliau menerima pengangkatan menjadi wedana di wilayah Cihelang daerah Sukabumi.

Hanya 7 bulan beliau menjabat diwilayah tersebut, dengan keputusan pemerintah yang telah dijanjikan dalam pembangunan, mengolah serta mengatur urusan pemerintahan, maka berdasarkan surat Goepernement tertanggal 23 Agustus 1908, No. 2, beliau diangkat menjadi Bupati di Sukapura.

Istri beliau, bernama Rd. Ayoe Radja Pamerat, dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1893. Ibunya bernama R. Ayoe Tedja Pamerat, putri R. Djajadiningrat, pensiunan wedana Jampang; cucu Kg. Dalem Adipati Martanagara, bupati Bandung; buyut Kg. Dalem Koesoemahjoeda, wilayah kabupaten Sumedang.

Putra-putri Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ada 19, yang nama-namanya adalah sebagai berikut :

1.Nyi R. Roekiah

2.Nyi R. Djoebaedah

3.Nyi R. Tarqijah

4.Nyi R. Siti Rahmah

5.Rd. Djaelani

6.Nyi R. Koerniasih

7.Nyi R. Soehaemi

8.Rd. Abdul Kadir

9.Nyi R Siti Fatmah Koeraesin

10.Nyi R. Siti Roekiah

11.R. Achmad Moh. Harmaen

12.R. Abdoel Moehjidin

13.R. Moh. Ali

14.R. Abdoellah

15.R. Moh. Fatah Djoebaedi

16.R. Sapei

17.R. Moh. Hasan Rahmat

18.R. Abdoellah Solichin

19.R. Moh. Husein Rahmat

 

 

BUPATI TASIKMALAYA Ke – XV Tahun 1938-1944

 

Setelah bupati ke XIV wafat digantikan oleh Rd. Tumenggung Wiradipoetra, putra Dalem Bintang. Pengangkatan Bupati berdasarkan surat dari pemerintah No. 16. Diberi gelar Adipati, beristri R. Bentang Radja putra Dalem Bogor.

 

 

BUPATI TASIKMALAYA Ke – XVI Tahun 1944-1947

 

Berdasarkan permintaan Kg. Dalem Adipati Wiradipoetra untuk berhenti dan pensiun, kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama R. Tumenggung Aria Soenarya (sebelumnya Bupati Ciamis), putra dari bupati ke XII, R. Tumenggung Wirahadiningrat.

 

 

BUPATI TASIKMALAYA Ke – XVII Tahun 1947-1949

 

Dengan kepindahan R. Tumenggung Aria Soenarya ke Bandung, maka jabatan bupati digantikan lagi oleh R. Tumenggung Wiradipoetra (adalah bupati Sukapura ke XV).

Pada tahun 1949 Dalem Wiradipoetra mengajukan pensiun, beliau adalah bupati Sukapura/ Tasikmalaya keturunan Dinasti Wiradadaha terakhir.

 

 

Daftar Bupati Sukapura :

 

Daftar berikut merupakan para Bupati Sukapura dari dinasti Wiradadaha dan keturunannya.

  1. Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1641-1674).
  2. Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674).
  3. Raden Anggadipa I, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III dipanggil Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674-1723).
  4. Raden Subamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV dipanggil Dalem Pamijahan, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1723-1745).
  5. Raden Secapati, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha V dipanggil Dalem Srilangka, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1745-1747).
  6. Raden Jaya Anggadireja, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI dipanggil Dalem Siwarak, (1747-1765), berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja.
  7. Raden Djayamanggala II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII dipanggil Dalem Pasirtando, (1765-1807), berkedudukan di Empang, Sukaraja.
  8. Raden Anggadipa II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dipanggil Dalem Sepuh, (1807-1837), berkedudukan di Manonjaya.
  9. Raden Tumenggung Danudiningrat, (1837-1844), berkedudukan di Manonjaya.
  10. Raden Tumenggung Wiratanubaya, dipanggil Dalem Sumeren, (1844-1855), berkedudukan di Manonjaya.
  11. Raden Tumenggung Wiraadegdana, dipanggil Dalem Bogor, (1855-1875), berkedudukan di Manonjaya.
  12. Raden Tumenggung Wirahadiningrat, dipanggil Dalem Bintang, (1875-1901), berkedudukan di Manonjaya.
  13. Raden Tumenggung Prawirahadingrat, (1901-1908), berkedudukan di Tasikmalaya.

Raden Tumenggung Wiratanuningrat (1908-1937), berkedudukan di Tasikmalaya, di masa pemerintahan ini tepatnya pada tanggal 1 Januari 1913 Kabupaten Sukapura diganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya.

 

 

Bupati XIV Sukapura 1913 (1908-1937) Rd Tumenggung Wiratanuningrat

Bupati XIV Sukapura 1913 (1908-1937) Rd Tumenggung Wiratanuningrat

 

 

 

*Ditulis ulang oleh :

Kendy Ferdian Soeradimadja