Sejarah Sukapura
Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat, pada masa itu karena belum ada sekolah seperti sekarang maka orang yang ingin mendapat pengetahuan pada umumnya melakukan pengembaraan dengan tujuan untuk menjadi pimpinan yang bijaksana, pada akhirnya Pangeran Kusuma Diningrat sampai di tanah Sunda (Priangan) di kampung Cibadak / Badakpaeh Kecamatan Singaparna sekarang.
Setelah menetap beberapa lama mempunyai istri yang bernama RA Sudarsah puteri Rangga Gempol I Kusumahdinata III (Raden Aria Suryadiwangsa II), Bupati Sumedang pertama putra tiri Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 putera dimana putera yang terakhir bernama Sareupeun Cibuniagung.
Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung, puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara).
Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :
1). Raden Wirawangsa;
2). Raden Astawangsa;
3). Raden Pranawangsa;
4). Raden Narahita;
5. Raden Bagus Chalipah
Kemudian Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar : Raden Tumenggung Wiradadaha, gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha Yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa Bupati Sukapura pertama (sekarang kota Tasikmalaya) karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton.
Dari sinilah mulainya Bupati Sukapura yang pertama.
Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.
Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat.
Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :
Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang, Mandala dan Kelapa Genep, Cipinaha dan Lingga Sari, Cigugur, Parakan Tiga (Pamengpeuk) dan Maroko, Parung, Karang, Bojongeureun,
Suci, Panembong (Garut), Cisalak, Nagara, dan Cidamar
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah : Saunggantang, Taraju dan Malangbong
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya.
Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.
PIAGAM PENGANGKATAN
BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG
DARI SULTAN AGUNG
Penget srat piagem *)
Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang
prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha
Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang,
kang sami prasatja maring ingsoen.
Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka
wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan
pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan
rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang,
kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken
déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon,
pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija,
papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan
toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe.
Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip,
kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.
Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa
yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha
(untuk) Sukapura, Tumenggung Wiraangunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk)
Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami.
Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda,
semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja
memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung,
pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan
abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban
terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan
Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya,
empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan,
Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu.
Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi
raja, jurutulis.
*) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”,
Makam Kanjeng Dalem Wirawangsa / Tumenggung Wiradadaha I (Dalem Wiradadaha/ Dalem Baganjing) dan Tumenggung Wiradadaha III (Dalem Sawidak )
Bupati Sukapura Pertama : 1641-1674
Rd.Tumenggung Wiradegdaha (Wiradadaha)
Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan.
Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton.
Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.
Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara.
Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung.
Maka, Rakyat dan Pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing2 sehingga negara Sukapura pada saat itu peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.
Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat.
Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya.
Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kg. Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka.
Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”.
Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :
1.Rd. Wangsadipura
2.Rd. Anggawangsa
3.Rd. Kartijasa
4.Nyi Rd. Wanadapa
5.Rd. Djajamanggala
6.Nyi Rd. Pelang
7.Rd. Anggadipa
8.Nyi Rd. Parnati
9.Rd. Wangsadikusumah
10.Nyi Rd. Adjeng
11.Nyi Rd. Ajoe
12.Rd. Poespawidjaja
13.Rd. Pranadjaja
14.Rd. Darmamanggala
15.Rd. Ardimanggala
16.Rd. Puspamanggala
17.Rd. Tjandradipa
18.Rd. Kartadipa
19.Nyi Rd. Doekoeh
20.Rd. Wangsataruna
21.Rd. Digajasa
22.Nyi Rd. Djampang
23.Rd. Wirandana
24.Nyi Rd. Purba
25.Rd. Gentoer
26.Nyi Rd. Sampan
27.Nyi Rd. Katempel
28.Nyi Rd. Widuri
Penggantinya adalah putra nomer 3 bernama Rd. Jayamanggala.
BUPATI SUKAPURA Ke – II Tahun 1674
Rd. Jayamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha II
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat.
Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja.
Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :
1.Rd. Indramanggala
2.Nyi Rd. Kusumahnagara
3.Rd. Widjanggana
4.Nyi Rd. Legan
5.Nyi Rd. Gandapura
6.Nyi Rd. Djanglangas
7.Nyi Rd. Apiah
8.Rd. Madjadikara
namun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
BUPATI SUKAPURA Ke – III Tahun 1674 – 1723
Rd. Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai.
Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.
Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini.
Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensyiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tentram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III.
Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda;
1. Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
2. R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
3. R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
4. R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.
Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :
1.Rd. Joedanagara
2.Rd. Soebang
3.Rd. Soebamanggala
4.Rd. Wiradimanggala
5.Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel
6.Nyi Rd. Wiratsari
7.Rd. Mandoera
8.Rd. Abdoel Moh. Arip
9.Nyi Rd. Radji
10.Rd. Wiranagara
11.Rd. Soeriadinata
12.Rd. Tirtapradja
13.Rd. Indramanggala
14.Rd. Mertamanggala
15.Rd. Dipanagara
16.Nyi Rd. Djahah
17.Rd. Tjandrakoesoemah
18.Rd. Singadiprana
18.Rd. Indrataroena
20.Nyi Rd. Soemanimbang
21.Nyi Rd. Impoen
22.Rd. Radjamanggala
23.Nyi Rd. Idjah
24.Rd. Djagasatroe
25.Rd. Rarap
26.Rd. Singadimanggala
27.Rd. MS. Bagoes
28.Rd. Daroes (Daroe)
29.Nyi Rd. Poespa
30.Nyi Rd. Doeji ( Dewi)
31.Nyi Rd. Winadjeng Halimah
32.Rd. Bima
33.Nyi Rd. Dita
34.Rd. Soemadimanggala
35.Rd. Djiwamanggala
36.Rd. Karadinata
37.Nyi Rd. Patradanta
38.Rd. Najapoespa
39.Rd. Lingga(Legan)
40.Nyi Rd. Karimah
41.Nyi Rd. Ardi
42.Rd. Bodong
43.Rd. Arsabaja
44.Rd. Wangsamanggala
45.Rd. Soetra
46.Rd. Indradinata
47.Rd. Tjandramanggala
48.Rd. Ardimanggala
49.Rd. Betok
50.Rd. Tjandradinata
51.Nyi Rd. Ika
52.Rd. Kartadipa
53.Rd. Soemanagara
54.Rd. Bagoes II ( Saloengan )
55.Nyi Rd. Koesoemakaraton
56.Rd. Soerajoeda
57.Rd. Indra Widjaja
58.Rd. Djajamanggala
59.Rd. Kertimanggala
60.Rd. Kartamanggala
61.Rd. Natawatjana
62.Rd. Gandapradja
Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)
Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala.
BUPATI SUKAPURA Ke – IV Tahun 1723-1745
Rd. Soebamanggala/ Rd. Tumenggung Wiradadaha IV
Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi
Rd. Tumenggung Wiradadaha IV.
Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.
Berkuasanya beliau tidak lama karena keburu wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”.
Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau.
Keempat patih yang tersebut diatas masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, Patih II, karna dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.
Raden Anggadipa/Dalem Abdoel berputra 14 orang yaitu :
1.Rd. Demang Setjapati
2.Rd. Anggadipa
3.Rd. Anggadiwiredja
4.Rd. Sidjah
5.Rd. Anggapradja
6.Nyi Rd. Djandipoera
7.Rd. Djajawiguna
8.Nyi Rd. Soemadikara
9.Nyi Rd./ Katjinagara
10.Nyi Rd. Gimbar
11.Nyi Rd. Bandoe
12.Nyi Rd. Soerianagara
13.Rd. Soeradiredja
14.Rd. Wiradrapa
BUPATI SUKAPURA Ke – V Tahun 1745-1747
Rd. Setjapati/ Kg. Tumenggung Wiradadaha V
Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram.
Rd. Demang Setjapati berputra 10 orang yaitu :
1.Nyi Rd. Gandalarang
2.Nyi Rd. Winari
3.Rd. Djajanggadiredja
4.Nyi Rd. Nimbang
5.Rd. Indranagara
6.Nyi Rd. Djaleha
7.Rd. Wiradiredja
8.Nyi Rd. Landjang
9.Rd. Satjadikusumah
10.Rd. Panimba
Beliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.
BUPATI SUKAPURA Ke – VI Tahun 1747-1765
Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.
Nama Rd. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.
Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC).
Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.
Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu.
Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).
Rd. Djajanggadiredja berputra 3 orang yaitu :
1). Rd. Djajamanggala;
2). Nyi Rd. Kartiwinagara;
3). Nyi Rd. Kartakusumah.
BUPATI SUKAPURA Ke – VII Tahun 1765-1807
R.Djajamanggala ke II / Kg. Dalem Wiradadaha VII
Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun.
Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon.
Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena itu beliau diberi gelar Adipati.
Pada saat menerima gelar tersebut, Kg. Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja.
Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakankan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37 yaitu :
1.Nyi Rd. Panggoengnagara
2.Nyi Rd. Ganibah
3.Nyi Rd. Somakartawan
4.Nyi Rd. Gandanagara
5.Nyi Rd. Poerwakoesoemah
6.Rd. Hidjad
7.Rd. Djajanggadiredja
8.Rd. Ardikoesoemah
9.Rd. Anggadipa
10.Nyi Rd. Ondan
11.Rd. Bradjanagara
12.Rd. Wiranagara
13.Nyi Rd. Siti Salmah
14.Nyi Rd. Rijanagara
15.Rd. Wangsajoeda
16.Nyi Rd. Arsabaja
17.Rd. Soerajoeda
18.Nyi Rd. Basi
19.Nyi. Rd. Tedja
20.Nyi Rd. Ratnanimbang
21.Rd. Wiramanggala
22.Rd. Parnawangsa
23.Rd. Tanoewangsa/Dalem Danoeningrat
24.Rd. Dg. Nawatadiredja
25.Nyi Rd. Wati Angsanagara
26.Nyi Rd. Ratnainten
27.Rd. Gandakoesoemah
28.Rd. Raksadiredja
29.Rd. Tanoeredja
30.Rd. Bradjadiguna
31.Rd. Diparedja
32.Nyi Rd. Habijah
33.Nyi Rd. Nimbang
34.Rd. Soemajuda
35.Nyi Rd. Saridjem
36.Rd. Soerjadiredja
37.Rd. Moh Djapar
BUPATI SUKAPURA Ke – VIII Tahun 1807-1811 dan 1814-1837
Rd. Anggadipa / Kg. Adipati Wiradadaha VIII
Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, serta pada tahun yang sama, kabupaten Sukapura dipindahkan dari Leuwi Loa ke daerah Desa Sukapura di wilayah Kecamatan Sukaraja sekarang.
Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati.
Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan.
Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami tarum (pohon nila).
Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan.
Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija.
Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).
Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811).
Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi khususnya dan eksploitasi ekonomi pada umumnya.
Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang.
Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana.
Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun tarum tetap dilaksanakan.
Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda.
Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.
Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi.
Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun.
Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong.
Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.
Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh.
Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya.
Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker.
Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.
Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya.
Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu :
1. Pasir Panjang,
2. Banjar,
3. Kawasen,
4. Kali Peucang
5. Cikembulan
6. Parigi
Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa.
Seterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut.
Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun.
Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.
Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832.
Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya.
Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.
Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan Keresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing.
Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura – sesuai daerah yang langsung diperintahnya – yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun.
Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesaian pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.
Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.
Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya.
Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun.
Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Rd. Anggadipa (Kg. Adipati Wiradadaha VIII) pada tahun 1837 wafat, setelah meninggal disebut Dalem Sepuh.
Beliau menjadi bupati selama 30 tahun .Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya, meninggalkan putra-putri sebanyak 14 orang yaitu :
1.Rd. Ajoe Djajanggadiredja
2.Rd. Anggadipa
3.Rd. Mandoeraredja
4.Nyi Rd. Siti Djenab/Zaenab
5.Nyi Rd. Mantri Gandawiredja
6.Nyi Rd. Armisah
7.Rd. Rg. Djajamanggala
8.Nyi Rd. Limdasari
9.Rd. Tanoekoesoemah
10.Nyi Rd. Poerwa Apipah
11.Rd. Wangsadiredja
12.Nyi Rd. Siti Mamtri
13.Rd. Soeranegara
14.Nyi Rd. Koesoemah
BUPATI SUKAPURA Ke – IX Tahun 1837-1844
Rd. Tumenggung Danoeningrat
Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat putra Kg. Adipati Wiratanoebaja ke 12 menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844 wafat,
jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya. Beliau menikah dengan Nyi Rd. Tajoem putri Rd. Soemabrata dari Panjalu dan mempunyai putra-putri 13 orang yaitu :
1.R. Rangga Wiradimanggala,
2.Rd. Dg. Pranawangsa
3.Rd. Wiradiredja
4.Nyi Rd. Sariningsih
5.Rd. Rangga Tanoewangsa
6.Nyi Rd. Arsanagara
7.Nyi Rd. Jogjaningrum
8.Nyi Rd. Bradjadiguna
9.Nyi Rd. Ratnanagara
10.Nyi Rd. Moenaningroem
11.Nyi Rd. Radjakoesoemah
12.Rd. Soebiakoesoemah
13.Rd. Danoekoesoemah
BUPATI SUKAPURA Ke – X Tahun 1844-1855
Rd. Rangga Wiradimanggala / Kg. Rd. Tumenggung Wiratanoebaja.
Yang menjabat bupati kemudian adalah putra sulungnya yang bernama R. Ranggawiradimanggala, yang kemudian namanya diganti menjadi Kg. R. Tumenggung Wiratanoebaja, yang mengikuti nama dari buyut Kg. Dalem Parakanmuntjang ke III.
Menjabat sebagai bupati selama 12 tahun kemudian wafat tanggal 6 Juni 1855, jenazahnya di Tanjung Malaya, dan tidak mempunyai putra-putri.
Setelah wafat, Kg. Dalem sering disebut “Dalem Soemeren”.
Jabatan kemudian diserahkan ke adiknya yang bernama R. Tanoewangsa.
BUPATI SUKAPURA Ke – XI Tahun 1855-1875
Rd. Rangga Tanoewangsa / Rd. Wiratanoebaja / Rd. Adipati Wiraadegdaha.
Pada hari Selasa tanggal 11 September 1855, R. Rangga Tanoewangsa dilantik dan diganti menjadi R. Wiratanoebaja. Ditahun 1872 mendapat gelar Adipati dan diganti namanya menjadi R. Adipati Wiraadegdaha.
Pada masa beliau, pemerintah mulai memberlakukan aturan pajak tanah yang dimusyawarahkan oleh 7 Bupati di seluruh Priangan ditahun 1869; yang dipimpin oleh komisaris Jendral P.K.T. Otto van Rees (Gubernur Jendral Hindia Belanda; 1884-1888).
Setelah hasil musyawarah dikirimkan ke 2 e Kamer, pada bulan Juli 1871, peraturan pajak tanah di Priangan diberlakukan.
Jasa Kg. Bupati kepada negara serta isinya sangatlah besar dibanding yang lainnya, bukan hanya dari segi kesejahteraan negara tetapi juga dari segi penyempurnaan adat serta tata krama dan juga besar jasanya dalam memajukan pembangunan.
Pada tahun 1875 beliau mendapat musibah yang disebabkan oleh peraturan pajak tanah sampai diberhentikan dengan hormat.
Untuk beberapa tahun beliau tidak diperkenankan tinggal di tempat kelahirannya tetapi di tempatkan di Bogor dan diberi pensiun f. 300 setiap bulannya.
Itu sebabnya Kg. Dalem sering disebut “Dalem Bogor”.
Ditahun 1908 Kg. Dalem Bogor diperkenankan kembali ke Manonjaya, hingga beliau wafat di tahun 1912. Jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya.
Beliau mempunyai putra-putri sebanyak 34 orang yaitu :
1.Rd. Danoeningrat
2.Nyi Rd. Mintarsih
3.Nyi Rd. Patimah
4.Rd. Adjrak
5.Nyi Rd. Saribanon
6.Nyi Rd. Soehaerah
7.Rd. Waktoero
8.Nyi Rd. Oerpinah
9.Rd. Anhar
10.Nyi Rd. Pandji
11.Nyi Rd. Parinaningrat
12.Rd. Soedjana
13.Rd. Alibasah
14.Nyi Rd. Soekaenah
15.Rd. Kosasih
16.Nyi Rd. Soekaesih
17.Rd. Timoer
18.Nyi Rd. Soehaeni
19.Rd. Rangga Wiratanoewangsa
20.Rd. Soemanagara
21.Rd. Asikin
22.Rd. Widjanggana
23.Rd. Tasik
24.Rd. Soemitra
25.Rd. Badar
26.Rd. Bradjanagara
27.Nyi Rd. Radja
28.Nyi Rd. Resna
29.Nyi Rd. Oerpijah
30.Rd. Herdis
31.Nyi Rd. Timoer
32.Nyi Rd. Bintang
33.Nyi Rd. Mintarsah
34.Rd. Panris
BUPATI SUKAPURA Ke – XII Tahun 1875-1901
Rd. Danoekoesoemah / Rd. Adipati Wirahadiningrat.
Setelah berhentinya Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha ditahun 1875, jabatannya diganti oleh adiknya yang bernama R. Demang Danoekoesoemah, patih Manonjaya dan setelah menjabat bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Wirahadiningrat.
Beliau adalah Bupati terakhir di kabupaten Manonjaya, beliau juga termasuk Bupati yang rajin, sabar, adil, bijaksana, termasyur sebagai Bupati yang paling baik.
Jasa beliau oleh pemerintah ditahun 1893 diberi gelar Adipati, tahun 1898 mendapat “Bintang Payung Kuning” dan ditahun 1900 dianugrahkan bintang “Oranje Nassau”. Itulah sebabnya sering disebut “Dalem Bintang”.
Pada tahun itu juga beliau mendapat surat perintah resmi untuk memindahkan kabupaten ke Tasikmalaya, namun sepertinya dari pesan leluhur ada peribahasa “Galunggung Ngadek Tumenggung”, beliau tidak ada maksud menduduki kabupaten baru, sebab sudah melewati gelar Tumenggung, maka secara mendadak setelah menerima surat perintah itu beliau jatuh sakit sampai wafat.
Rd. Danoekoesoemah/Rd. Adipati Wirahadiningrat/Dalem Bintang, mempunyai putra-putri sebanyak 19 orang yaitu :
1.Rd. Dg. Soekmamidjaja
2.Nyi Rd. Amiarsih
3.Nyi Rd. Lembana
4.Nyi Rd. Oeminah
5.Nyi Rd. Lasmini
6.Nyi Rd. Basoewarna
7.Rd. Tumenggung Wiradipoetra
8.Rd. Tumenggung Aria Soenarya
9.Nyi Rd. Tresnasih
10.Nyi Rd. Atimah
11.Nyi Rd. Roekansih
12.Nyi Rd. Amiarsih
13.Nyi Rd. Toersini
14.Nyi Rd. Dinawasih
15.Nyi Rd. Soengkawati
16.Nyi Rd. Moetiarsih
17.Rd. Tranggana
18.Nyi Rd. Dinarsih
19.Nyi Rd. Mimarsih
BUPATI SUKAPURA Ke – XIII Tahun 1901-1908
Rd. Rangga Wiratanoewangsa / Rd. Tumenggung Aria Prawira Adiningrat
Dengan berhentinya Kg. Adipati Wirahadiningrat pada tahun 1901, kedudukannya digantikan oleh putra saudaranya yaitu putra Kg. Dalem Bogor yang bernama R. Rangga Wiratanoewangsa, Patih Manonjaya. Setelah memegang jabatan Bupati namanya diganti menjadi R. Tumenggung Prawira Adiningrat.
Sebagai Bupati Sukapura XIII dan merupakan bupati pertama yang berkedudukan di Tasikmalaya. Akhirnya, pada tanggal 1 Oktober 1901, ibukota kabupaten Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya, pemindahan ibukota ini karena pertimbangan ekonomi bagi pemerintahan Hindia Belanda.
Beliau menjabat bupati hanya selama 7 tahun dan tidak lama sejak mendapat gelar “Aria”, ditahun 1908 beliau wafat, ketika sedang berobat di Cianjur. Itu sebabnya mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Aria”.
Beliau mempunyai putra-putri sebanyak 17 orang yaitu :
1.Nyi Rd. Dewi
2.Rd. Ponpon Prawiraadiningrat
3.Nyi Rd. Retna
4.Rd. Prawiraadiningrat (Aom Dikdik)
5.Rd. Adipati Wiratanoeningrat
6.Rd. Soele Prawiraadiningrat
7.Nyi Rd. Ajoe Radjamirah
8.Rd. Soekiman
9.Rd. Kandjoen
10.Nyi Rd. Marsijah
11.Rd. Rg.Prawiraadiningrat (Aom Rio)
12.Nyi Rd. Siti Patimah
13.Rd. Kd. Wiratanoewangsa
14.Rd. Daroessalam
15.Rd. Hasan Affandi
16.Rd. Awam
17.Rd. Hoesen Affandi
BUPATI SUKAPURA/TASIKMALAYA Ke- XIV Tahun 1908 – 1937
Rd. Adipati Wiratanoeningrat ( Aom Soleh )
Setelah wafatnya Kg. Aria, yang menjabat sebagai Bupati Sukapura pada tanggal 23 Agustus 1908, adalah putra sulungnya yang bernama R.A. Wiratanoeningrat.
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat pada saat sebelum menjadi Bupati Sukapura, menjabat Sebagai Wedana wilayah Ciheulang.
Pada tahun 1901 kabupaten Sukapura mengalami perubahan besar, yaitu wilayah Mangunreja serta Tasikmalaya sebagian ditiadakan.
Dari wilayah Mangunreja yang dimasukkan ke Sukapura hanya diwilayah Mangunreja, Dedetaraju, Sukaraja, Karang dan Parung. Sisanya yaitu wilayah Cikajang, Batuwangi, Kandangwesi, Nagara digabungkan ke kabupaten Limbangan (Garut).
Dari wilayah Tasikmalaya yang masuk ke Sukapura hanyalah wilayah Tasikmalaya, Ciawi, Indihiang dan Singaparna. Sedangkan wilayah Malangbong dibagikan ke dua kabupaten, yaitu sebagian ke kabupaten Limbangan (Garut) dan sebagian ke kabupaten Sumedang.
Pada tahun 1910 daerah dibawah kabupaten ini tinggal 14 distrik.
Pada tahun 1913 nama Kabupaten Sukapura diganti Menjadi Tasikmalaya hingga kini. Daerah bawahannya tinggal 10 wilayah. Atas putusan Bestuurservorming pada tahun 1925, Tasikmalaya menjadi ibukota Keresidenan Priangan Timur, tetapi pada tahun 1931 Keresidenan itu mengalami perubahan lagi.
Dengan kejadian tersebut sering timbul pertanyaan apakah itu pertanda yang menyebabkan “Sukapura Ngadaun Ngora”.
Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila mengingat kepada cerita para sepuh dahulu yang menyebutkan;
Bila Rawa Lakbok dengan hutan belantaranya sudah menjadi sawah, negara akan pindah ke Banjar.
Yang merubah Rawa Lakbok dan hutan belantaranya menjadi persawahan yang amat luas adalah Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat. Atas jasa beliau rawa yang luasnya kurang lebih 30.000 ha, hutan yang begitu lebatnya sekarang telah menjadi persawahan yang begitu suburnya.
Meskipun sekarang ditempat bekas Rawa Lakbok dan Hutan belantaranya itu belum ada batu marmer yang ditulis dengan huruf tinta emas, yang bertuliskan nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, namun akan selalu teringat oleh rakyat yang mendapatkan penghasilan dari sawah yang sebelumnya adalah rawa, itu tidak akan hilang untuk selama ratusan tahun.
Anak cucu rakyat yang mendapatkan kesejahteraan dari jasa Kg. Bupati akan mengetahui dari cerita nenek dan kakeknya bahwa yang membuka Rawa Lakbok serta hutan belantaranya bernama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat, Bupati keturunan leluhur Sukapura, dan penuturan cerita itu terus disampaikan secara turun-temurun.
Selain karena tersohor membuka Rawa Lakbok, sebenarnya masih banyak lagi jasa Kg. Bupati kepada rakyatnya, yaitu membuka persawahan, perkebunan yang ada di Banjar, Kawasen, Padaherang, Pamarican, atau ringkasnya cerita bahwa tempat-tempat yang tadinya masih rawan serta hutan belantara sekarang atas jasa Kg. Bupati yang tidak pernah mengingat kepada kesusah-payahannya, merubah semua itu menjadi persawahan hijau dan perkebunan palawija yang luas dan bermanfaat pada kehidupan rakyatnya di wilayah bawahan beliau.
Tidak hanya sampai disitu perhatian beliau kepada rakyatnya, kesemua itu juga dijaga oleh beliau dari bahaya yang akan merusak pertanian, yaitu membasmi segala binatang perusak.
Meneliti kehidupan rakyatnya bukan hanya dengan cara pertanian, tetapi juga dengan jalan memajukan bermacam koperasi dagang dari batik, tenun, anyaman dan peternakan. Malah dari usaha memajukan peternakan kuda dan sapi, beliau mendirikan perkumpulan yang dinamai “Sangiang Kalang” dan “Lembu Andini”.
Untuk menolong segala keperluan yang membutuhkan modal, beliau membentuk suatu perkumpulan yang tidak asing lagi bagi semua orang, yaitu “Pakoempoelan Doeit Hadiah” (PDH), perkumpulan ini pada saat buku ini ditulis telah mencapai f 70.000 lebih.
Dengan pengumpulan dana dari perkumpulan ini, bukan hanya digunakan untuk menolong orang yang membutuhkan modal untuk berdagang dan bertani saja, namun juga digunakan untuk menolong orang yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah menengah dan sekolah atas.
Diantaranya ada yang telah diberikan bantuan untuk yang sedang bersekolah di Geneescundige Hooge School di Betawi dan di Militaire Academi di Breda.
Meningkatkan pendidikan kerakyatanya itu tidak saja kepada pendidikan duniawi, namun juga pada keagamaan. Bukan hanya puluhan, namun ratusan madrasah yang pernah didirikan oleh kiai-kiai yang dipelopori oleh Kg. Bupati.
Untuk menyatukan para kiai agar selalu sejalan dan setujuan, oleh beliau diikat dalam suatu perkumpulan yang diberi nama “Idharu Biatil Muluki Wal Umaro”, yang artinya tunduk pada pimpinan, patuh pada pemerintah serta jajarannya.
Anggota dari perkumpulan tersebut ada 1.350 kiai, belum termasuk lagi yang bukan golongan kiai.
Untuk keperluan rakyat agar memudahkan dan melancarkan hubungan mata pencahariannya, Kg. Bupati tidak berdiam diri, secara seksama membangun beberapa jembatan-jembatan. Diantara jembatan yang termasyur;
Jembatan Gantung Kawat jalan ke Ciwarak
Jembatan Gantung Kawat jalan ke Linggasari
Jembatan Gantung Kawat jalan ke Talegong
Jembatan Gantung Kawat jalan ke Leuwi Budah-Tanjung
Jembatan Gantung Kawat jalan ke Cigugur
Jembatan bambu beralas besi di Mangunjaya (sangat disayangkan jembatan ini tidak sampai selesai karena diterjang banjir kali Ciseel).
Selain itu, beliau pernah bermaksud pula untuk membangun suatu rumah fakir miskin Islam yang dibiayai dari sebagian pendapatan zakat fitrah untuk fakir miskin, yang biasanya dikumpulkan dari orang-orang setahun sekali, namun karena terpikirkan oleh beliau, aturan ini tidak bermanfaat bagi fakir miskin, sebab sumbangan dari perorangan itu tidak akan mencukupi.
Atas jasa Kg. Bupati yang begitu besarnya, pemerintah tidak ragu, berdasarkan surat P.K.T. Goepernoer Djendral tanggal 21 Agustus 1920, No. 1, diberi gelar “Adipati”, ditambah lagi surat P.K.T. Besar tanggal 24 Agustus 1922, No. 39, beliau menerima bintang dalam “Officer de Order van Orangje Nassau” dan menurut surat Goepernoemen tanggal 21 Agustus 1926, No, 13, diberikan lagi “Gele Songsong”.
Kebijaksanaan Kg. Bupati didalam keunggulannya mengolah negara, berdasarkan surat-surat seperti dibawah ini :
23 Agustus 1908-23 Agustus 1933
Pada masa inilah selama 25 tahun Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat menjabat sebagai Bupati.
Melihat pada kebijaksanaan beliau sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh berbagai kehormatan yang tersebut diatas tadi, tepat sekali seumpama nama beliau dicatat didalam arsip Pemerintahan Hindia Belanda, diperuntukan bagi putra-putranya yang beliau sayangi.
Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat dilahirkan pada tanggal 19 Febuari 1878, di Nanggrang, wilayah Taraju. Ibunya bernama R. Ajoe Ratna Puri. Putri sulung dari Kg. Dalem Tumenggung Aria Prawira Adiningrat (Dalem Aria), bupati ke XIII, cucu Kg. Dalem Adipati Wiraadegdaha (Dalem Bogor), buyut Kg. Dalem Tumenggung Danoeningrat bupati IX.
Nama Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ialah Aom Saleh. Sepeninggal Kg. Ibu, pada usia 8 bulan, beliau diasuh oleh eyang sepupu, Kg. Dalem Adipati Wirahadiningrat (Dalem Bintang) bupati ke XIII, sewaktu usianya 8 tahun pada saat ayahnya Kg. Dalem Aria menjadi wedana di Jampang Wetan, disekolahkan disekolah Belanda di Sukabumi selama 2 tahun, kemudian dipindahkan kesekolah Belanda di Bogor.
Setelah 2 tahun lamanya belajar disekolah itu, saat umur 12 tahun beliau lalu masuk kesekolah menak (Hoofden-School) di Bandung sampai tahun 1896.
Menurut surat residen Priangan Schappen tanggal 5 April 1897, No. 2932/8, beliau ditugaskan sebagai Joeroe Serat Controluer Bandung Utara, dan kurang lebih 3 tahun, juga berdasarkan surat Kg. Resident yang tersebut diatas tertanggal 5 Oktober 1901, No. 12937/8, menerima pengangkatan menjadi asisten wedana di Andir, wilayah Ujung Berung Barat, daerah Bandung.
Setelah kurang lebih 7 tahun memegang jabatan tersebut diatas, berdasarkan surat Goepernemen tertanggal 12 Febuari 1908, No. 28, beliau menerima pengangkatan menjadi wedana di wilayah Cihelang daerah Sukabumi.
Hanya 7 bulan beliau menjabat diwilayah tersebut, dengan keputusan pemerintah yang telah dijanjikan dalam pembangunan, mengolah serta mengatur urusan pemerintahan, maka berdasarkan surat Goepernement tertanggal 23 Agustus 1908, No. 2, beliau diangkat menjadi Bupati di Sukapura.
Istri beliau, bernama Rd. Ayoe Radja Pamerat, dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1893. Ibunya bernama R. Ayoe Tedja Pamerat, putri R. Djajadiningrat, pensiunan wedana Jampang; cucu Kg. Dalem Adipati Martanagara, bupati Bandung; buyut Kg. Dalem Koesoemahjoeda, wilayah kabupaten Sumedang.
Putra-putri Kg. Dalem Adipati Wiratanoeningrat ada 19, yang nama-namanya adalah sebagai berikut :
1.Nyi R. Roekiah
2.Nyi R. Djoebaedah
3.Nyi R. Tarqijah
4.Nyi R. Siti Rahmah
5.Rd. Djaelani
6.Nyi R. Koerniasih
7.Nyi R. Soehaemi
8.Rd. Abdul Kadir
9.Nyi R Siti Fatmah Koeraesin
10.Nyi R. Siti Roekiah
11.R. Achmad Moh. Harmaen
12.R. Abdoel Moehjidin
13.R. Moh. Ali
14.R. Abdoellah
15.R. Moh. Fatah Djoebaedi
16.R. Sapei
17.R. Moh. Hasan Rahmat
18.R. Abdoellah Solichin
19.R. Moh. Husein Rahmat
BUPATI TASIKMALAYA Ke – XV Tahun 1938-1944
Setelah bupati ke XIV wafat digantikan oleh Rd. Tumenggung Wiradipoetra, putra Dalem Bintang. Pengangkatan Bupati berdasarkan surat dari pemerintah No. 16. Diberi gelar Adipati, beristri R. Bentang Radja putra Dalem Bogor.
BUPATI TASIKMALAYA Ke – XVI Tahun 1944-1947
Berdasarkan permintaan Kg. Dalem Adipati Wiradipoetra untuk berhenti dan pensiun, kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama R. Tumenggung Aria Soenarya (sebelumnya Bupati Ciamis), putra dari bupati ke XII, R. Tumenggung Wirahadiningrat.
BUPATI TASIKMALAYA Ke – XVII Tahun 1947-1949
Dengan kepindahan R. Tumenggung Aria Soenarya ke Bandung, maka jabatan bupati digantikan lagi oleh R. Tumenggung Wiradipoetra (adalah bupati Sukapura ke XV).
Pada tahun 1949 Dalem Wiradipoetra mengajukan pensiun, beliau adalah bupati Sukapura/ Tasikmalaya keturunan Dinasti Wiradadaha terakhir.
Daftar Bupati Sukapura :
Daftar berikut merupakan para Bupati Sukapura dari dinasti Wiradadaha dan keturunannya.
- Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I dipanggil Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1641-1674).
- Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674).
- Raden Anggadipa I, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III dipanggil Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1674-1723).
- Raden Subamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV dipanggil Dalem Pamijahan, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1723-1745).
- Raden Secapati, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha V dipanggil Dalem Srilangka, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1745-1747).
- Raden Jaya Anggadireja, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI dipanggil Dalem Siwarak, (1747-1765), berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja.
- Raden Djayamanggala II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII dipanggil Dalem Pasirtando, (1765-1807), berkedudukan di Empang, Sukaraja.
- Raden Anggadipa II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dipanggil Dalem Sepuh, (1807-1837), berkedudukan di Manonjaya.
- Raden Tumenggung Danudiningrat, (1837-1844), berkedudukan di Manonjaya.
- Raden Tumenggung Wiratanubaya, dipanggil Dalem Sumeren, (1844-1855), berkedudukan di Manonjaya.
- Raden Tumenggung Wiraadegdana, dipanggil Dalem Bogor, (1855-1875), berkedudukan di Manonjaya.
- Raden Tumenggung Wirahadiningrat, dipanggil Dalem Bintang, (1875-1901), berkedudukan di Manonjaya.
- Raden Tumenggung Prawirahadingrat, (1901-1908), berkedudukan di Tasikmalaya.
Raden Tumenggung Wiratanuningrat (1908-1937), berkedudukan di Tasikmalaya, di masa pemerintahan ini tepatnya pada tanggal 1 Januari 1913 Kabupaten Sukapura diganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya.
Bupati XIV Sukapura 1913 (1908-1937) Rd Tumenggung Wiratanuningrat
*Ditulis ulang oleh :
Kendy Ferdian Soeradimadja